Memasuki gerbang kota kereta malam itu merasa begitu tua dan lelah: Ini bukan stasion penghabisan.
Ia masih harus kembali merangkak sepanjang jarak, mengulang-ulang langkah sendiri sepanjang lempengan baja yang dingin dan beku, yang lebih diam dari bisu.
Masih harus disisihkannya hasrat untuk suatu istirahat panjang, kejemuan untuk melewatkan waktu dengan cara yang itu-itu juga.
Tak ada yang perduli dengan keluhnya: di dalam gerbong berpuluh, beratus penumpang sibuk dengan pikiran sendiri: di luar jendela gelap semata – hanya bayang-bayang pohon berkejaran menuju kenangan.
Berangkat lagi, tak pernah dikenalnya jalan pulang.
Melintasi malam kereta itu menjerit-jerit – roda-rodanya berderak keras, berusaha lepas dari jajaran rel yang senantiasa mengarahkan langkahnya.