Sabtu, 30 Agustus 2008

KERETA MALAM

Memasuki gerbang kota kereta malam itu merasa begitu tua dan lelah: Ini bukan stasion penghabisan.

Ia masih harus kembali merangkak sepanjang jarak, mengulang-ulang langkah sendiri sepanjang lempengan baja yang dingin dan beku, yang lebih diam dari bisu.

Masih harus disisihkannya hasrat untuk suatu istirahat panjang, kejemuan untuk melewatkan waktu dengan cara yang itu-itu juga.

Tak ada yang perduli dengan keluhnya: di dalam gerbong berpuluh, beratus penumpang sibuk dengan pikiran sendiri: di luar jendela gelap semata – hanya bayang-bayang pohon berkejaran menuju kenangan.

Berangkat lagi, tak pernah dikenalnya jalan pulang.

Melintasi malam kereta itu menjerit-jerit – roda-rodanya berderak keras, berusaha lepas dari jajaran rel yang senantiasa mengarahkan langkahnya.

TETAPI WAKTU

Ia menepis bulan yang terlambat pergi, ia menepis

matahari. Ia berjalan melintas kabut, menolak-nolak

kabut. Ia tak ingin menyapa embun. Tak perduli

pada angin yang bermain-main di wajahnya, di anak

rambutnya, yang tiba-tiba mendinginkan cuaca.

Ia berjalan menyeberang bukit. Ditinggalkannya

malam, ditinggalkannya pagi – apalagi sepi.


Tak didengarnya cicit burung-burung. Juga

ketika kau menyeru-nyeru namanya, tak

dihiraukannya panggilan itu. Tetapi waktu

yang tak pernah mau menunggu itu

terasa semakin jauh: ketika setiap arah meluruh,

dan setiap jalan menyesatkan tujuan.

TENTANG KUNANG-KUNANG

Tentang kunang-kunang yang berkedip

di malam gelap, yang percik cahayanya

menuntun langkah para pejalan menentukan

arah, dan tak dapat diketemukan lagi

ketika tertampak berkas-berkas sinar matahari

pagi: Tak usah dirisaukan


siapa yang akan menunjukkan jalan ketika

seekor kunang-kunang tersesat

di samudra cahaya

BERJALAN KEMBALI,4

Apa kabar di belakang?

Aku tersesat di hutan kata-kata, kakiku terperosok di lubang jebakan

Apa kabar di belakang?

Biarlah, akan tetap kulambaikan tangan.

Tetap kulambaikan tangan.

BERJALAN KEMBALI,3

Masa lalu, duka cita dan rindu kukumpulkan jadi satu kumasukkan ke dalam tas, dan tak kutinggalkan di hentian itu.

Betapa ringan aku berjalan ketika kusaksikan segalanya runtuh.

Daun-daun, musim, beberapa nada dari potongan lagu sendu, bahkan angin pun runtuh: mengubur segala yang tak perlu lagi ada.

Kuucapkan selamat tinggal bagi segala beban – teman seperjalanan – yang terlalu setia, hingga sepantasnya aku tinggalkan.

Aku berjalan sendiri, kembali sendiri.

Kubiarkan reruntuhan menghapus jejakku sepanjang jalan.

BERJALAN KEMBALI,2

Setelah menangis sehabis airmata, mengeluh sehabis rasa memaki sehabis kata, merintih sehabis luka, berjalan aku kembali.

Melangkah sendiri.

Penghujan atau kemarau tak kuambil perduli, kini.

Satu detik pun akan terlalu lama untuk kubiarkan lepas begitu saja.

Langit begitu jauh,cakrawala begitu jauh, tak akan kutempuh.

Di hatiku sejumlah cuaca ganti-berganti mengatasi sepi, atas langkahku seribu jalan menanti.

BERJALAN KEMBALI,1

Berjalan kembali menjejaki jam demi jam, meniti detik demi detik, kulupakan persinggahan yang baru kutinggalkan.

Berjalan, terus aku berjalan mencari semacam arah yang akan memastikan tujuan.

Kutinggalkan lelah, harapan,beberapa kenangan, dan semua yang seharusnya kutanggalkan.

Tak perduli kalau pun harus kulalui kembali jalan yang sama, karena kutahu aku akan lupa.

Berjalan kembali, menyusur gigir sangsi, kembali mereka-reka bulan, mereka-reka matahari.