Sabtu, 30 Agustus 2008

KERETA MALAM

Memasuki gerbang kota kereta malam itu merasa begitu tua dan lelah: Ini bukan stasion penghabisan.

Ia masih harus kembali merangkak sepanjang jarak, mengulang-ulang langkah sendiri sepanjang lempengan baja yang dingin dan beku, yang lebih diam dari bisu.

Masih harus disisihkannya hasrat untuk suatu istirahat panjang, kejemuan untuk melewatkan waktu dengan cara yang itu-itu juga.

Tak ada yang perduli dengan keluhnya: di dalam gerbong berpuluh, beratus penumpang sibuk dengan pikiran sendiri: di luar jendela gelap semata – hanya bayang-bayang pohon berkejaran menuju kenangan.

Berangkat lagi, tak pernah dikenalnya jalan pulang.

Melintasi malam kereta itu menjerit-jerit – roda-rodanya berderak keras, berusaha lepas dari jajaran rel yang senantiasa mengarahkan langkahnya.

TETAPI WAKTU

Ia menepis bulan yang terlambat pergi, ia menepis

matahari. Ia berjalan melintas kabut, menolak-nolak

kabut. Ia tak ingin menyapa embun. Tak perduli

pada angin yang bermain-main di wajahnya, di anak

rambutnya, yang tiba-tiba mendinginkan cuaca.

Ia berjalan menyeberang bukit. Ditinggalkannya

malam, ditinggalkannya pagi – apalagi sepi.


Tak didengarnya cicit burung-burung. Juga

ketika kau menyeru-nyeru namanya, tak

dihiraukannya panggilan itu. Tetapi waktu

yang tak pernah mau menunggu itu

terasa semakin jauh: ketika setiap arah meluruh,

dan setiap jalan menyesatkan tujuan.

TENTANG KUNANG-KUNANG

Tentang kunang-kunang yang berkedip

di malam gelap, yang percik cahayanya

menuntun langkah para pejalan menentukan

arah, dan tak dapat diketemukan lagi

ketika tertampak berkas-berkas sinar matahari

pagi: Tak usah dirisaukan


siapa yang akan menunjukkan jalan ketika

seekor kunang-kunang tersesat

di samudra cahaya

BERJALAN KEMBALI,4

Apa kabar di belakang?

Aku tersesat di hutan kata-kata, kakiku terperosok di lubang jebakan

Apa kabar di belakang?

Biarlah, akan tetap kulambaikan tangan.

Tetap kulambaikan tangan.

BERJALAN KEMBALI,3

Masa lalu, duka cita dan rindu kukumpulkan jadi satu kumasukkan ke dalam tas, dan tak kutinggalkan di hentian itu.

Betapa ringan aku berjalan ketika kusaksikan segalanya runtuh.

Daun-daun, musim, beberapa nada dari potongan lagu sendu, bahkan angin pun runtuh: mengubur segala yang tak perlu lagi ada.

Kuucapkan selamat tinggal bagi segala beban – teman seperjalanan – yang terlalu setia, hingga sepantasnya aku tinggalkan.

Aku berjalan sendiri, kembali sendiri.

Kubiarkan reruntuhan menghapus jejakku sepanjang jalan.

BERJALAN KEMBALI,2

Setelah menangis sehabis airmata, mengeluh sehabis rasa memaki sehabis kata, merintih sehabis luka, berjalan aku kembali.

Melangkah sendiri.

Penghujan atau kemarau tak kuambil perduli, kini.

Satu detik pun akan terlalu lama untuk kubiarkan lepas begitu saja.

Langit begitu jauh,cakrawala begitu jauh, tak akan kutempuh.

Di hatiku sejumlah cuaca ganti-berganti mengatasi sepi, atas langkahku seribu jalan menanti.

BERJALAN KEMBALI,1

Berjalan kembali menjejaki jam demi jam, meniti detik demi detik, kulupakan persinggahan yang baru kutinggalkan.

Berjalan, terus aku berjalan mencari semacam arah yang akan memastikan tujuan.

Kutinggalkan lelah, harapan,beberapa kenangan, dan semua yang seharusnya kutanggalkan.

Tak perduli kalau pun harus kulalui kembali jalan yang sama, karena kutahu aku akan lupa.

Berjalan kembali, menyusur gigir sangsi, kembali mereka-reka bulan, mereka-reka matahari.

POHON TUA

Pohon tua itu ingin sekali merontokkan daun-daunnya

Sendiri, mengalami musim-musim gugur sendiri. Ia

membayangkan dirinya menebarkan helai demi helai

daun, lalu terserak di antara tunas-tunas yang

menyemak di seputarnya. Ia berharap agar hujan pun

turun, menghumuskan daun-daun. Tapi setiap kali

ia mulai mengguncang-guncang tubuhnya sendiri

selalu terasa akar-akarnya semakin kuat berpegangan

pada tanah. Tak lelah-lelah

TENTANG DEBU

Setelah berputar-putar mengikut perjalanan Angin, ia pun berhenti.

Aku teramat lelah, Angin. Biarkan aku beristirahat sejenak di Pohon itu. Kau teruslah berjalan, dan jangan pernah lagi memikirkan diriku”

Angin yang senantiasa berkelana itu pun berlalu, dan Debu segera lekat di dahan Pohon.

Kenapa kau diam di sini, Debu?!” hardik Pohon itu.

Ijinkan aku menetap bersamamu,” ujar Debu, “aku tak sampai hati membebani Angin untuk terus-menerus menghela tubuhku.”

Dan Batu yang bijak itu tetap diam, karena semakin tahu.

TAK AKAN HABIS KAU MENGERTI

Tapi tetap tak akan habis kau mengerti

sesuatu yang memejal dalam kata

yang terus menggeliat agar terbebas dari kata:


Sesuatu yang menyerupai warna

yang tak segan-segan membiusmu agar meredup

lalu surut sebelum sempat menuntaskan kecewa

PELABUHAN, KAPAL DAN KATA

Seandainya pelabuhan bisa memilih kapal-kapal

yang boleh singgah di dermaga, tentu tak perlu

ia meminta bantuan angin untuk memaksa beberapa

dari mereka bertolak kembali ke tengah samudra


(Sayang tak pernah ada kalimat yang mampu

berbicara sepenuhnya…)


Seandainya pelabuhan bisa memilih kapal terakhir

yang harus merapat di dermaga, tentu tak perlu

ia memohon-mohon ombak untuk mengantar satu

di antara mereka ke pelukannya.


(Sayang tak pernah ada kata yang selesai

terucapkan…)

Kamis, 21 Agustus 2008

SEHABIS PERTUNJUKAN

Tak dapat kukenali lagi kidung yang pernah kau

gumamkan, yang sepenggal nadanya dapat

melelapkan malam.Tak dapat kueja lagi kata yang

pernah dengan setia kau ajarkan – lewat gereseh

pepohonan, suara sunyi hujan, senja yang senyap –

dan mengaburkan jarak yang acapkali kita tahankan.

Tak dapat kunikmati lagi senandung kidung, detik

embun turun, irama hujan, yang begitu nyata menyadarkan:

telah lindap semua siang, beberapa potong kenangan,

suara-suara yang tercipta di tepi panggung pertunjukan.

Dari sini kuyakini: bangku-bangku telah ditinggalkan,

lampu demi lampu mulai dipadamkan.

CATATAN RINDU

Pasti akan kukisahkan padamu tentang sepi yang agaknya

mulai menggugurkan rindu: daun-daunnya yang menguning

jatuh satu-satu, sebagian berserakan, sebagian dibawa

angin menuju benua yang hanya dapat tercapai sebatas

anganmu.

Pasti, akan kukisahkan padamu tentang rindu yang

menajamkan deras hujan,yang mendesak matahari agar

segera menyelesaikan pagi, yang desaunya membising di

sepanjang tidurmu.

Pasti akan kukisahkan padamu tentang hujan, tentang

matahari, tentang pagi yang tak lelah-lelah memaksa

sepi: menggugurkan rindu.

TITIK AIR

#1

Ia pernah turun sebagai hujan yang mengantar

sunyi mengetuk-ngetuk kaca jendela, sebelum

tergelincir dan jatuh ke tanah, pernah terserap

ke sumber air, tersangkut di gayung penduduk kampung,

terjerang panas api, tersekap dalam gua yang panjang

berliku-liku, dan pada akhirnya terlempar, terbuang

ke selokan, pernah terpecah menjadi butiran kecil

yang ringan, lalu mendaki langit lewat tangga cahaya

Ia pernah terseret arus yang kuat, pernah tergoda

jadi kericik air pancuran, tapi terjelma sebagai embun

yang runtuh menimpa bunga rumput, dan mendengar bunga

itu membisikkan sesuatu, tapi matahari menghardiknya

agar segera pergi sebelum ia aempat mengerti

#2

Titik air itu tak tahu mengapa ia begitu cepat

berubah, mengapa ia dapat begitu segera menyesuaikan

diri di mana ia berada, mengapa ia begitu tak berdaya

menolak kekuatan di luar dirinya yang membawanya

ke mana saja, tak tahu mengapa ia begitu mudah

dipengaruhi warna, dan mengapa ia tetap disebut titik

air apa pun yang terjadi pada dirinya, dan tak

ingin mengetahui jawabnya

Ia hanya ingin berkesempatan bertemu bunga rumput itu

sekali lagi, agar dapat mengerti maksud kata-kata

yang begitu indah namun tak dapat tertangkap maknanya,

tidak ingin tahu bahwa kepada setiap embun

yang turun bunga rumput itu selalu membisikkan

kata-kata yang sama, selamanya

TIBA-TIBA

tiba-tiba

kau pun mendengar seperti suara tawa

ketika duka tak tertampung

dalam Duka

begitu tiba-tiba

SEHABIS DUKA

Tundukkan kepalamu, dan teruslah melangkah.

Berusahalah tidak mendengar setiap makian, setiap

ejekan yang sesungguhnya memang ditujukan pada kita.

Tak adanya perlu berkata-kata. Kita bergegas pergi

Awas! Berpalinglah dari cahaya

agar sama sekali tak sempat mereka tegaskan

luka di Wajah kita.

SAJAK PERKAWINAN,2

Baiklah pesta kita siapkan secara sederhana

dan ala kadarnya. Di sini hanya ada kita bertiga:

kau, aku dan Tuhan. Selebihnya cuma kenangan.

Hidangan telah tersedia, dan kita boleh segera

menikmatinya: segelas sepi, sepiring kesangsian.

Selebihnya mungkin bernama harapan.

Semoga ini jadi perpisahan yang baik bagi masa lalu

yang tak ingin kita ungkit-ungkit lagi. Maka

berbisiklah selamat tinggal dengan sebisa rela.

Setelah semua disingkirkan, kita tinggal melangkah.

Melangkah begitu saja. Karena itu yang paling

mendesak untuk dilakukan, sebelum kita bertanya

akan ke mana. Selebihnya tinggal keteguhan.

SAJAK PERKAWINAN,1

Sehabis perjamuan, keriuhan pesta, gelak tawa,

obrolan tak berketentuan, kemudian sepi kembali.

Masih tersisa kehangatan ucap selamat, senyum

yang tertinggal, dan sedikit basa-basi.

Di ruangan masih mengendap bau keramaian, tapi

meja dan kursi telah menjadi dirinya

sendiri, dan kau terpesona bahwa ada satu hari

yang diciptakan Tuhan sedemikian panjangnya.

Sungguh melelahkan, sebelum akhirnya kau terkapar

di ranjang pengantin. Bau sprei meruap ke sudut-

sudut kamar, di mana terserak bingkisan yang

beberapa di antaranya kau tak tahu dari mana.

Sungguh sebuah hari yang kau tak ingin coba-coba

mengulangi lagi. Cukup sekali. Cukup sekali.

SETELAH BERIBU WAKTU

Ternyata beginilah, bukan? Setelah beribu waktu

kita lewatkan untuk berkemas, tak kunjung kita

jalani juga keberangkatan ini.

Dalam ranselmu telah siap sejumlah mimpi,

tapi kau selalu berkata tunggu sebentar lagi.

Sebentar lagi?

Sementara di terminal bus-bus silih berganti

sebagaimana juga hari, kau malah bertanya

bagaimana cara menunda matahari.

KAU DAN BURUNG-BURUNGMU

Setelah kau dapatkan merpati yang telah dengan

susah payah kau buru, lalu hatimu jadi begitu puas,

tiba-tiba kau ingin sekali melepaskannya kembali

agar terbang bebas di udara terbuka.

Saat ini kau tengah menunggu seseorang agar kau

dapat bercerita tentang seekor kucica

yang hinggap dalam tidurmu tadi malam.

TIGA SAJAK TENTANG PARA PENCARI

bagi : kang rahmat hidayat


#1

Bau amis itu tersekap dalam dingin

dan kabut. Kau menyisir lagi – menyisir

hutan yang tersembunyi dalam hutan. Mencari

jejak pejalan itu lenyap dalam gelap. “Ia tak ada

di mana-mana!” seseorang berkata.

Kau menghela napas sewaktu gelap pun menepi dan

hutan-hutan sirna dari pandangmu. Di sini,

di tengah sorot lampu-lampu, ketika tak bisa kau terka

bau amis itu: dari tubuh binatang atau manusia

#2

“Ke mana pula mayat itu terbawa?”

Kau pastikan air sungai itu mengalir ke muara.

Arusnya akan berjalan melewati beberapa jeram,

sejumlah pusaran, lalu tubuh orang mati itu… “Ia

pasti tenggelam.“ Para pencari bersipandang

dalam diam.

Berapa waktu sudah ikut berlari dalam arus sungai

dengan satu-dua lenyap dalam pusaran, tetap tak

terjawab ke mana mereka bermuara : para manusia

#3

Malam agaknya masih akan begitu panjang

Kau melangkah ke arah cahaya yang meredup tiba-tiba

“Lampu itu harus terus menyala!”

SETELAH LONCENG BERDENTANG

Kado hari natal


Ada yang tetap tak dilahirkan,

dan terus menetap di rahim kebisuan

hidup oleh kecemasan, terjaga

tanda tanya. Tapi kau masih juga

menyadap sepi, sementara aku bertahan

mengingkari segala yang tanpa kepastian.

Namun ada yang tetap tak kunjung dilahirkan

pun setelah lonceng kesekian kali berdentang

tak cukup selesai dikenang.

SUDILAH KIRANYA

Sudilah kiranya tak usah bertanya mengapa malam

enggan terpejam – ia ingin melahirkan-Ku kembali.

Setelah tak kunjung kau pahami rintik embun

yang setia mengujungi daun-daun, desis serangga,

pagi yang selalu menjelmakan cahaya, dan tak ada

yang mungkin kau pelajari dari sepi: sudilah

kiranya berpaling dan jangan menoleh lagi. Beri

kesempatan pada segala yang di luar dirimu – segala

yang menunda-nunda langkahmu menuju – dengan leluasa

melahirkan-Ku kembali. Berkali-kali

BARANGKALI LUSA

Maaf kalau Kubiarkan waktu luput

menjagai musim, dan kau rasakan ada

yang pelan-pelan menegaskan kesangsian.

Barangkali lusa akan dapat Kudengar sesuatu

yang tak pernah sempat kau bisikkan: dari pagi

pertama kau temukan dirimu di tengah sisa dunia,

tanpa suatu apa. Sengaja Kutanggalkan beberapa

tangkai bunga dari rantingnya, Kulepas musim dari

ikatan, dan Kubiarkan dirimu meyakini kegelisahan.

DENGAN SEPENUH CINTA

Dengan sepenuh cinta Kukirimkan padamu

dukacita itu: nikmatilah,

dengan ratapan yang mesra, dengan sebaik-baik

airmata. Syukurilah: ada suatu saat

di mana kau sadari benar betapa kau begitu jauh

di luar segala yang nampaknya bahagia – yang

kau tak pernah bosan mencapainya. Mengeluhlah,

sementara kau biarkan setiap titik airmatamu

begitu merdu melafazkan nama-Ku.

IA INGIN MENJELMA

Ia ingin menjelma sebuah lagu

yang terdengar di tengah dendang kanak-kanak

bermain, yang suaranya semayup sampai

dari malam-malam yang jauh. Ia ingin

mengiang di sebuah jalan panjang suatu malam,

saat kau melangkah sendirian. Dibayangkannya

kau akan terhenyak, dan tak mungkin lagi

melupakan setiap nada, sampai suatu kali

kau memperdengarkannya bagi-Ku.

Ia sangat ingin sampai pada-Ku

JANGAN MENGUSIK

Jangan mengusik! Ia tengah berupaya

menggagalkan cuaca.

Di luar, malam dibiarkannya terlantar

sedang bulan telah lama ditenggelamkan

kesendirian. Kau ingin menyebut bintang

yang tersisih di langit tertepi itu

kesetiaan yang rawan, tapi…

“Apa yang ia perbuat dengan dingin dan sepi

yang terus mengancam, sedang…” Jangan

mengusik: biarkan ia menyamarkan ketiadaan

METAMORPHOSA,2

Kau kupu-kupu yang selalu menghisap maduku,

kukutuk engkau agar dari tubuhmu keluar butiran-

butiran kecil yang sama sekali tak menyerupai

dirimu.

“Tidak jadi apa, wahai bunga yang tak mengenal

terimakasih. Kelak dari butiran-butiran itu

akan muncul ulat-ulat yang siap menghabiskan

daun-daunmu.”

Akan kukutuk pula ulat-ulat itu agar terkurung

di ruang gelap tanpa cahaya, sekian lamanya

tak bisa menikmati indahnya dunia.

“Terjadilah apa yang kau kehendaki, karena

kutukanmu akan menyempurnakan ulat-ulat itu

sampai siap menjelma kupu-kupu.”

METAMORPHOSA,1

Ada seekor ulat merayap di helai daun, mengunyah

daun-daun. Ia mendadak takjub ketika dilihatnya seekor

kupu-kupu menghisap madu di kuntum bunga: Pesona

warna-warna. Ia ingin menjelma pesona.

Diisyaratkannya pada kupu-kupu

agar membukakan baginya Rahasia itu.

“Teruslah mengunyah daun-daun itu!” jawabnya. “Tapi

kau harus terlebih dahulu tersisih, terasing dari

keramaian, dan terkurung sendirian di ruang gelap

dan pengap, bermusim-musim lamanya…”

SAJAK TENTANG SEORANG LELAKI

bagi:sdd


Lelaki itu berdiri di tepi jalan, mengawasi

keramaian, sambil berusaha mengenali kembali

wajah seseorang yang tak pernah dijumpai sebelumnya.

Lelaki itu melangkah, menyusuri jalan,

berharap akan bertemu seseorang yang pasti ia tahu

tak mungkin lewat di situ.

Lelaki itu menunggu di sudut jalan, orang asing

dari suatu masa yang hilang, yang akan menyapa begitu

karib – lebih dari seorang saudara – hingga ia bisa

berkata bahwa ia sudah menduga akan datangnya.

Lelaki itu menunggu, mengawasi keramaian, menyusur

jalan, mencari suatu peristiwa yang tak akan

pernah ada. Ia ingin percaya bahwa itu tidak sia-sia.

KARENA AKU UDARA

Karena aku udara, maka aku harus mengalah pada meja,

pada kursi, atau pada lemari – membiarkan mereka

mendesak, merebut tempatku.

Aku pun berjalan, mencari ruang-ruang kosong

yang menjadi bagianku, sambil bersiap untuk

kembali disingkirkan.

Karena aku hanya udara, maka aku menyisih

agar tetap tak terkalahkan.

SAJAK TENTANG LILIN

“Kenapa lilin tak bisa menerangi dunia?”

Padahal ia menebarkan cahaya bagi siapa

saja, mengisi nyalanya yang lembut dengan

cinta yang teduh, dan tak henti-henti

meluluhkan dirinya sendiri tanpa mengeluh.

“Kenapa lilin tak bisa menerangi dunia?”

tanyamu. Ia bahkan tak mampu menjangkau

ruang-ruang kosong dan gelap dalam hatimu.

TIGA SAJAK TENTANG SEPI

#1

Di tengah hiruk pikuk pasar, sepi tak henti-henti

menyapa siapa saja yang dijumpai, tapi

tak ada yang menyahutnya

Agaknya di tempat ini tak seorang pun mengenalnya.

#2

Sepi mengetuk-ngetuk setiap rumah, mengetuk-ngetuk setiap

pintu. Dan hari itu sepi memasuki rumahmu yang tak pernah

terkunci, bersandar di pintu kamar: mengamatimu.

Ia tak sampai hati melihat kau duduk sendiri di antara

buku-buku, detak jam dinding dan jendela yang selalu

menuntut perhatian itu.

Sepi tiba-tiba ingin sekali menemanimu.

#3

Ia memang tak pernah menemukan jalan untuk kembali:

Pun sampai nanti, sebelum ia mencapai arti, harus

tak pernah istirah melangkah di bukit-bukit berbatu,

di padang tandus, di belantara manusia. Harus berkali-kali

tersesat di dunia sebising ini.

ADA SUARA MEMANGGIL

Lagi-lagi kau mendengar suara seperti memanggilmu,

tapi tak seorang pun kau lihat di sekitarmu. Kau

tak tahu itu suara siapa, sedang kau begitu yakin

telah mendengarnya.

Lalu kau mencari sejauh kakimu melangkah, melintas

hutan-hutan kegelisahan, mendaki puncak-puncak

sepi, menyeberangi waktu… Begitu jauh, hingga

tak kau dengar denyut jantungmu sendiri terbata-

bata: berusaha menyebut namamu.

PATUNG DI SUDUT TAMAN

Patung di sudut taman yang dulu selalu kau

kunjungi setiap hari, sampai sekarang masih berada

di tempatnya semula. Ia tiba-tiba merasa

begitu sia-sia, tak dapat mengajarkan padamu

arti setia, yang membuat kau berjalan

demikian jauhnya.

Hari ini ia ingin sekali bertemu denganmu

untuk mengulang kembali cerita itu.

CERMIN,2

Ia tak pernah mengeluh ditempatkan di mana saja.

Dibiarkan terpajang di dinding kamar mandi, di pintu

almari, atau di atas meja

Ia kadangkala merasa jenuh dan bosan kalau

setiap pagi melihat kau berdiri di hadapannya,

sesaat sebelum berangkat kerja.

Lihat. Berkali-kali ia harus mereka bayang-bayang,

mencipta bayang-bayang secermat-cermatnya – sedemikian

rupa, hingga kau bisa dengan sempurna menirukannya.

CERMIN,1

Sudah sejak masa kanak-kanak kau tahu perangai cermin

yang tak pernah berubah dari waktu ke waktu: Ia selalu

memenjarakan bayang-bayangmu.

Setiap selesai mandi, dan ibumu sibuk mematut-matut

pakaianmu, kau buktikan berkali-kali bayang-bayangmu

nampak terkurung di situ.

Bahkan saat itu, ketika kau merasa terasing, tua

dan sendiri, kau saksikan sekali lagi bayang-bayangmu

membisu, merana dan tanpa daya.

PADA MALAM ITU

Merintihlah, perlahan saja. Tapi jangan sehabis

rasa, agar tak pernah bosan aku dengan

pertanyaan-pertanyaan itu. Agar tak jemu aku

mendaki keheningan yang menjelma dari napasmu

yang tersengal itu. Mendesahlah sesekali, tapi

sisakan juga bagiku gairah itu. Agar dapat

kumengerti sesuatu yang tak pernah lengkap

kumiliki.

Mengeranglah. Tapi jangan dulu kau habiskan

suara gemuruh yang memantul-mantul lewat detak

jam dinding itu. Agar dapat kupertahankan Rindu itu.

KAU TAK MENGHINDAR

Kau tak berusaha menghindar ketika tepat

di ujung waktu itu aku menyentuhmu. Kau

tak berbalik pergi – saat aku mengusik,

melepas dan menangkapmu kembali – ketika

bahkan malam pun tenggelam: Benarkah kau

yang bernama Kelam?

“Tidak, aku bukan Kelam. Akulah cahaya

yang tengah sembunyi di kegelapan.”

Tapi kau diam saat aku menjamahmu, merayapi

tiap jengkal tubuhmu. Bukankah kau…

“Bukan. Akulah sesungguhnya Terang. Tapi,

harus senantiasa sembunyi, senantiasa

berlindung di balik Kelam, agar semakin

sibuk kau menerka-nerka Alam.”

TUTUPLAH PINTU RUMAHMU

Tutuplah pintu rumahmu, rapat-rapat. Aku

akan segera datang mengetuknya. Seusai

perjalanan panjang ini – setelah kugenapi

nubuat ini – kukira akan sampai juga

saatku untuk kembali.

Tutuplah pintu rumahmu, sedemikian rapat.

Kuncikanlah. Agar dapat kupaksakan hasratku

menuju-Mu.

SEBUAH BERITA

Begitulah, maka sesuatu yang pernah kau kirimkan

pada akhirnya harus kembali padamu. Barangkali

sang Pengantar telah menyampaikan pada orang yang

keliru, atau memang tak pernah ditemuinya tempat

yang kau tuju. Tak pernah ada Alamat yang kau

kehendaki dalam Peta itu. Barangkali seseorang

telah menerima, tapi sama sekali tak dikenalnya

namamu. Lalu sesuatu yang pernah kau kirimkan,

pada akhirnya sampai kembali padamu.

Barangkali ada sesuatu yang salah pada Alamat,

atau Peta, atau sang Pengantar itu. Atau barangkali

tak pernah benar dimengertinya Pesan yang ingin

kau sampaikan. Sekian.

SEHINGGA KABUT

Aku ingin sekali berkata-kata dengan suatu

bahasa yang kau mengerti benar baik bunyi

maupun maknanya.Sehingga dapat kau pahami

sesuatu yang bergerak di seberang kabut, sehingga

dapat kau dengar suara langkah yang terhenti

tiba-tiba, helaan napas yang tertahan, tersembunyi

dalam kabut. Sehingga kau pun mengenali – dan

mengerti – jalan yang menurun atau mendaki, batu-

batuan dan akar pepohonan yang terkurung kabut.

Sehingga kabut,kau tak pernah akan bimbang

olehnya.

Aku ingin sekali mengisyaratkan semacam kata

yang kau tak sangsi akan maksudnya – yang kau

mengerti sepenuhnya.

Sehingga kabut akan secepatnya...

LALU ANGIN

Lalu angin?

Apa katamu tentang angin

yang tak henti-henti berkisar

di antara siang dan malam?

Tidak. Angin hanya diam. Tapi

siang dan malam begitu cepat bertukar tempat

sehingga angin, kita selalu saja alpa

menerjemahkannya

MALAM ITU

Malam itu: dingin yang menggigil dalam kabut,

jajaran pohon di sela padang bunga rumput

dan unggun api yang berangsur-angsur surut.

“Kerjapkan cahayamu!” seru sepi yang terbakar

sekian lama, yang memercikkan sisa-sisa nyala,

yang bertahan agar tidak terlalu segera mengabu.

“Kerjapkan cahayamu!” pekiknya, “Sebelum semua menjelma

tiada, sebelum gelap yang terus mengendap-endap itu

sempurna mencapaimu!”

MALAM ITU

Malam itu: dingin yang menggigil dalam kabut,

jajaran pohon di sela padang bunga rumput

dan unggun api yang berangsur-angsur surut.

“Kerjapkan cahayamu!” seru sepi yang terbakar

sekian lama, yang memercikkan sisa-sisa nyala,

yang bertahan agar tidak terlalu segera mengabu.

“Kerjapkan cahayamu!” pekiknya, “Sebelum semua menjelma

tiada, sebelum gelap yang terus mengendap-endap itu

sempurna mencapaimu!”

TELAH TURUN KABUT

Dengar, telah turun kabut. Agaknya dari jauh sekali

ia datang, turun dari pundak bukit, merayap, mencari

jalan di antara malam dan pepohonan, meniti batu, lalu

terbawa kericik air kali, sampai di tempat ini.

“Tidak!” Ia adalah detak jantung kita sendiri yang

memantul dari dinding lembah, menjadi gema di sini.

Tapi dengar, telah turun kabut. Agaknya dari jauh…

“Tidak!” pekikmu. “Ia adalah sepi kita sendiri yang

berputar-putar di sekitar lembah, lalu membeku:

menjelma kabut!”

KENAPA MALAM

Kenapa harus diciptakan malam, katamu

Karena kau takut pada kelam yang senantiasa menyertainya,

yang – seperti katamu – selalu begitu rapat menjajari langkahnya.

Karena selalu dibawakannya bagimu senyap yang kerisiknya

menyisakan sepi di sela-sela desah napasmu sendiri.

Karena bahkan malam, mendesakmu, agar kau tak usah berhenti

mengejar matahari, mengejar bayang-bayangmu sendiri,

hingga lelah mengantarmu ke pangkuannya kembali.

Maka diciptakan-Nya malam bagimu, agar kau sempat

menangisi dukamu.

APA PUN, MATAHARI

Apa pun, matahari : setelah menjejaki

abad-abad Perjalanan, tetap tak akan kau

kenali sesuatu yang ada di balik segala

yang membiaskan cahaya,


yang Hitam namanya

Selasa, 19 Agustus 2008

BAGAIMANA MUNGKIN KAU BERKATA

Bagaimana mungkin kau berkata bahwa kaulah matahari

sedang matahari menghidupi pepohonan: menguapkan

air dari tempat-tempat yang jauh, membubungkannya

ke langit yang akan menebarkan kembali ke bumi.

Terciptalah musim basah, hingga akar-akar itu

mudah menghisap tanah.


Bagaimana mungkin kau berkata bahwa kaulah matahari

sedang matahari menapasi pepohonan: dengan cahaya

ditegakkannya daun-daun, dirawatnya batang dan

ranting-rantingnya dengan semacam cinta. Ia pun

tumbuh berkembang lalu berbuah.


Bagaiman mungkin kau berkata bahwa kau bukan matahari

sedang panasmu menggugurkan daun-daun, memisahkannya

dari ranting tempatnya bergantung.

SEPANJANG KEMARAU

Kemanakah orang-orang yang berkabar tentang

penghujan itu pergi?

Dari tempat ini pun tak dapat kau terka

akan dari mana bau basah itu tiba. Di langit

awan hitam tak ada. Dan tak satu pun pejalan menemukan

jejak hujan.

Kau pun mencoba mengarang-ngarang airmata – yang

bahkan alangkah sulitnya mencarinya setelah kau

tak punya apa-apa – tiada guna. Hanya janji.

Janji, yang membuat kau tetap bertahan sekian lama.

Menanti.

TENTANG BUNGA MALAM

Sebab bunga malam hanya mekar sesaat malam, ia tak pernah mengenal matahari.

Tapi cerita bunga rumput tentang Cahaya yang besar menyilaukan, yang menghidupkan dan mematikan, terlalu menggodanya dan menyuburkan rindu dalam hasratnya untuk sebuah pertemuan yang mungkin hanya beberapa waktu saja.

Setiap kali embun turun, ia pun terjaga.

Dan bunga malam, ia telah mencoba bertahan dengan segala daya, sampai tangkainya yang panjang tunduk terkulai, tapi selalu luput menjaga pagi.

Maka bunga malam, tak pernah sempat mengenal matahari.

AKU MELIHATMU

Dan hari itu akupun melihatmu – berkelebat

di antara segala yang bernama dan tidak bernama,

di antara segala yang nyata dan tidak nyata.


Dan terus aku melihatmu – berkelebat lagi.

Selalu berkelebat, lalu membising

di sebuah ruang yang tiba-tiba menghampa

DI SEBERANG KITA

Yang tetap kita pandang dari kejauhan:

tiap berkas cahaya yang terpulas oleh warna

gumpalan asap yang pelan-pelan menyebar dalam warna

sejumlah suasana yang bertubi-tubi memukul kita dari sana


Yang terus berlangsung di seberang kita :

beberapa desah, gelak tawa, dendam dan cinta

Sementara kita pun tetap bertahan di batas jarak ini

agar tak terusik segala yang di luar sana:


cuaca yang memisahkan kita dengan kata

KAU PUN MENDENGAR

Kemudian kau pun mendengar kalimat-kalimat itu

kembali: sejumlah kata yang terus memanjang

dan tak kunjung selesai diucapkan, yang (sebagian


memecah, menyebar – menjelma serbuk-serbuk memenuhi

udara yang kau hisap itu dan menyatu dengan darahmu)

sebagian menyisih diam-diam, berbelok di tikungan


menggelincir di jalan menurun itu lalu melenting

sekejap sebelum melesat ke sebuah dongeng yang acap kau

nikmati di masa kecilmu dulu: sebelum mimpi panjang itu

KUTULISKAN SAJAK

Kutuliskan sajak bagi langit yang tak pernah

tidur, yang suatu kali membayangkan sebuah ranjang,

bantal-bantal, guling dan kasur, selimut panjang

serta dengkur yang teratur, sementara jendela yang

tak pernah punya bahasa itu terus mencoba

berkata-kata kepada bulan yang penuh cahaya

dan bintang-bintang yang entah jumlahnya