Ia menepis bulan yang terlambat pergi, ia menepis
matahari. Ia berjalan melintas kabut, menolak-nolak
kabut. Ia tak ingin menyapa embun. Tak perduli
pada angin yang bermain-main di wajahnya, di anak
rambutnya, yang tiba-tiba mendinginkan cuaca.
Ia berjalan menyeberang bukit. Ditinggalkannya
malam, ditinggalkannya pagi – apalagi sepi.
Tak didengarnya cicit burung-burung. Juga
ketika kau menyeru-nyeru namanya, tak
dihiraukannya panggilan itu. Tetapi waktu
yang tak pernah mau menunggu itu
terasa semakin jauh: ketika setiap arah meluruh,
dan setiap jalan menyesatkan tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar